Sindroma Guillain Barre
Definisi
Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 )
Sindroma Guillain Barre merupakan syndrome klinis yang ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan cranial. Proses penyakit mencakup dimielinasi dan digenerasi selaput myelin dari saraf perifer dan cranial (Sylvia dan Wilson,1995)
Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.
Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik.
Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
- Infeksi pennafasan atau gastrointestinal
- Vaksinasi
- Pembedahan
- Penyakit sistematik: keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison
- Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% – 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal
Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer.
Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi | Definite | Probable | Possible |
Virus | CMVEBV | HIVVaricella-zosterVaccinia/smallpox | InfluenzaMeaslesMumps Rubella Hepatitis Coxsackie Echo |
Bakteri | CampylobacterJejeniMycoplasma Pneumonia | Typhoid | Borrelia BParatyphoidBrucellosis Chlamydia Legionella Listeria |
Patofisiologi
Akson bermielin mengonduksi implus saraf lebih cepat dibanding akson tidak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terjadigangguan dalam selaput (nodus Ranvier) tempat kontak langsung antara membran sel akson dengan cairan ekstraselular. Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan ion masuk dan keluar akson dapat terjadidengan cepat banyak pada nodus Ranvier, sehingga implus saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.kehilangan selaput mielin pada Sindroma Guillain Barre membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi dan transmisi implus saraf dibatalkan.
Gangguan sistem saraf perifer yang terjadi di selubung mielin sel schawn. Ø terjadi proses demielinisasi yang ditandai dengan gejala paralisis atau parese otot mendadak. Ø kerusakan axon dapat terjadi Ø kerusakan axon dan demielinisasi terjadi karena proses inflamasi. Ø radikal bebas dan protease yang dihasilkan oleh macrofage saat masuk ke selubung mielin. Ø autoimmun terjadi karena anti bodi yang bersirkulasi masuk dan mengikat antigen dan menempel diatas selubung meilin dan mengaktifkan makrofag Ø inflamasi selubung meilin mengakibatkan hantaran impuls terhmbat atau terputus. Ø umumnya yang terkena pada bagian anterior nerve root akan tetapi bagian posterior juga dapat terganggu Ø umumnya selubung meilin yang terserang dimulai dari saraf perifer yang paling rendah dan terus ke level yang diatasnya. Ø gejala-gejala gbs menghilang setelah serangan autoimmun berhenti. Ø kerusakan pada sel body akan mengakibatkn gangguan yang bersifat permanen. Ø gangguan berupa sensorik dan motorik serta gangguan respirasi akibat defisit saraf otonom. Ø gangguan pada aspek muskuloskeletal ( menurunnya kekuatan otot dari gengguan konduktifitas saraf) Ø kardiopulmonal (menurunnya fungsi otot-otot intercostalis, diafragma sehingga ekspansi thoraks menurun. Menurunnya kapasitas vital paru. Ventilasi menurun) Ø saraf otonom (gangguan dapat mencapai n. Vagus sehingga terjadi gangguan parasimpatis seperti meninggkatnya tekanan darah, keringat berlebihan) Ø sensorik (gangguan sensasi seperti baal, kesemutan, nyeri dll)
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
Gambaran Klinis
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa .
Masa laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
Gejala Klinis
1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4).
2. Gangguan sensibilitas
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang .
Perjalanan Penyakit GBS( Terdapat 3 Fase)
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
2. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
3. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
Pemeriksaan Penunjang
1. Cairan serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
2. Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :
· Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
· Distal motor retensi memanjang
· Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
· Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
3. Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone).
4. Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
5. Elektrokardiografi (EKG)
menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
6. Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
7. Pemeriksaan patologi anatomi
umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
Penatalaksanaan
A. Terapi medis
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan:
1. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.
2. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- Azathioprine
- cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
B. Perawatan
Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus digestivus (Bowel), pernapasan (breathing), badan dan kulit (Body and Skin care), mata dan, mulut, makanan (nutrition and fluid balance)
Bila ada tanda-tanda kelumpuhan otot pernapasan harus secepatnya dirujuk/dikonsulkan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat atau vital kapasitas < 15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk mengetahui dengan cepat gangguan otot pernapasan, yang terdapat dua bentuk ialah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspne, tetapi kelainan ritme : cheyne-stoke
Prognosa
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lian:
- pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal
- mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
- progresifitas penyakit lambat dan pendek
- pada penderita berusia 30-60 tahun
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Data subjektif:
- Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
- Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya
- Tidak mampu menelan air liurnya
- Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya
Data Objektif:
- Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke
- Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator)
- Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis
Analisa Data
Data | Masalah | Etiologi |
DS:
DO:
| Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif | Kelemahan otot-otot bantu pernapasan |
DS:
DO:
1 1 1 1 | imobilisasi | Paralisis |
2. Diagnosa Keperawatan
1). Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot-otot pernapasan
2). Kerusakan Mobilitas fusik b.d kerusakan neuromuskuler 3. Rencana Tindakan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan
1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan
Tujuan :
Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator
Kriteria Hasil :
Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang normal
Tindakan keperawatan
Selidiki Etiologi gagal pernapasan
R/ Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien
Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan , jarak antara pernafasan spontan dan napas ventilator
R/ Pasien pada ventilator dapat mengalami hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara dan berupaya memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan
Auskultasi dada secara periodik catat adanya / tak adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi napas tambahan , juga simetrisitas gerakan dada
R/ Memberikan informasi tentang aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya /tidak adanya cairan
Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah
R/ Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri
Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor perawat
R/ Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas
Pertahankan tas resusitasi disamping tempat tidur dan ventilasi manual kapanpun diindikasikan
R/ Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila pasien atau masalah menuntut pasien sementara dilepas dari ventilator
Kolaborasi
Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan sesuai indikasi
R/ Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan penyakit utama pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk mempertahankan parameter dalam batas benar
Cbservasi persentasi konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan analisa oksigen periodik
R/ Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang diinginkan
Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca pada komputer
R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau kebocoran melalui mesin.
2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan Neuromuskuler
Tujuan
Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus )
Kriteria Hasil ;
Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit
Tindakan keperawatan
Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5.
R/ Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien
Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual
R/ Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada kulit
Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal
R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur.
Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan aktif selama fase akut
R/ Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi
Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan
R/Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi , arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan
Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual
R/ Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap / terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif
Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan
R/ Mencegah dari kekeringan tubub klien.
Kolaborasi
Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian terapi fisik / terapi okupasi
R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar